Istilah hukum di dalam peraturan perundang-undangan mengenai ilmu hukum acara pidana.
Accusatoir
yaitu memberikan kesempatan kepada seorang tersangka untuk dapat didampingi
pembela pada waktu perkaranya mulai diperiksa oleh Polisi (Penjelasan Pasal 83h
ayat (6) HIR/RIB).
Barang-barang
yang perlu dibeslag terdiri dari: a. Barang-barang yang menjadi sasaran
tindak pidana, seperti misalnya barang-barang yang dicuri, digelapkan, ditipu
dan lain sebagainya. b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak
pidana, seperti misalnya uang logam atau uang kertas palsu yang telah dibuat
oleh terdakwa. (Barang-barang tersebut pada sub a dan b ini adalah
barang-barang yang biasa disebut "corpora
delicti". c. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana, seperti misalnya golok atau pistol yang dipakai untuk menganiaya atau
membunuh orang, golok atau alat lain yang dipergunakan membongkar rumah untuk
mencuri, racun untuk membunuh, alat-alat untuk membuat uang palsu dan lain
sebagainya, yang biasa disebut "instrumenta
delicti". d. Barang-barang lain yang pada umumnya dapat dipergunakan
untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa, seperti misalnya pakaian
kena darah yang dipakai tersangka membunuh orang, kaca jendela yang ada bekas
telapak jari dari orang yang mencuri dan lain sebagainya, yang termasuk pula
dalam sebutan "corpora delicti"
(Penjelasan Pasal 42 HIR/RIB).
Berita acara ialah suatu tulisan
yang dibuat oleh pegawai atau pejabat yang diwajibkan untuk itu oleh
undang-undang, diberi bertanggal dan ditandatangani, berisi uraian
kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang dilihat, didengar dan dialami
sendiri atau yang disampaikan oleh orang lain kepada mereka itu, atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah di kemudian hari (Penjelasan Pasal 41
HIR/RIB).
Deponir
adalah wewenang penuntut umum untuk menghentikan perkara, atau menyimpan suatu
perkara, didasarkan atas prinsip oportunitas (Prinsip oportunitas berlawanan
dengan prinsip legalitas). Meskipun nyata ada suatu peristiwa pidana dilakukan
oleh seseorang, Penuntut Umum berwenang untuk menghentikan perkaranya, jika
untuk kepentingan umum lebih baik perkara itu tidak dilanjutkan ke muka
pengadilan (Penjelasan Pasal 46 HIR/RIB).
Kedapatan tengah
berbuat kata
aslinya adalah perkataan bahasa Belanda "ontdekking op heeterdaad", ada yang menterjemahkan dengan
kata-kata "ketahuan seketika", tertangkap tangan" dan
"tertangkap basah". Arti sehari-hari perkataan itu memang peristiwa
itu "ketahuan tengah atau sedang dilakukan", akan tetapi, menurut
pengertian yuridis menurut pasal ini lebih luas lagi daripada itu, ialah dapat
diperinci seperti di bawah ini, bahwa kedapatan tengah berbuat adalah: a.
apabila tindak pidana kedapatan sedang atau tengah dilakukan; misalnya seorang
Bhayangkara sedang meronda melihat dengan mata kepala sendiri seorang sedang
mengambil (mencuri) bola lampu listrik di jalan; pencurian ini "kedapatan
tengah berbuat"; b. apabila tindak pidana kedapatan dengan segera sesudah
dilakukan Apakah artinya "dengan segera?". Ini harus ditentukan
menurut situasi dan kondisi.
Keputusan telah
menjadi tetap artinya segera setelah terhadap keputusan itu tidak lagi
terbuka suatu jalan hukum pada hakim lain atau hakim itu juga untuk mengubah
keputusan itu, seperti perlawanan, naik banding atau kasasi. Selama perkara itu
masih dapat dilawan, dibanding atau dimintakan kasasi, maka selama itu
keputusan tidak dapat dijalankan belum menjadi tetap. Keputusan itu menjadi
tetap dalam hal: 1. Setelah baik
terpidana maupun jaksa menerangkan, bahwa mereka masing-masing menerima
keputusan itu, atau 2. Jika keterangan untuk menerima itu tidak ada, akan
tetapi waktu untuk meminta banding telah lewat dan tidak dipergunakan, atau 3.
Jikalau permintaan banding ditarik kembali (Penjelasan Pasal 324 HIR/RIB).
Kesaksian yaitu keterangan lisan
seorang, di muka sidang pengadilan, dengan disumpah lebih dahulu, tentang
peristiwa tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri. Lihat saksi de auditu (Penjelasan
Pasal 295 HIR/RIB).
Kompetensi
absolut pengadilan negeri yaitu kekuasaan mengadili berdasarkan atas
rupa dan sifat peristiwa pidana yang diadili (Penjelasan Pasal 252 HIR/RIB).
Kompetensi
relatip pengadilan negeri yaitu kekuasaan mengadili yang berhubungan
dengan daerah hukum (Penjelasan Pasal 252 HIR/RIB).
Locus
delicti adalah tempat terjadinya atau dilakukannya kejahatan. Dalam bidang
hukum pidana dianut beberapa teori: a. Teori pembuatan material (leer van de lichamelijke daad). Menurut
teori ini yang menjadi locus delicti
ialah tempat dimana pembuat melakukan segala yang kemudian dapat mengakibatkan
delik yang bersangkutan. Pendapat ini dianut oleh Hoge Raad Negeri Belanda
dalam keputusannya 16 Oktober 1899 No. 7347, akan tetapi kemudian ternyata,
bahwa teori ini tidak dapat membawa penyelesaian dalam hal sebagai berikut:
Pada waktu perang dunia I (1914-1918) oleh Negeri Belanda dilarang untuk
memasukkan kuda ke dalam wilayah Negeri Jerman. Akan tetapi seorang penyelundup
tahu akal. Ia menyeberangi perbatasan antara Negeri Belanda dan Jerman,
sedangkan kuda yang hendak dimasukkannya ditinggalkan di Negeri Belanda sangat
dekat di perbatasan tersebut. Dengan suatu tali ia menarik kuda itu ke dalam
wilayah Negeri Jerman. Di muka hakim dikatakan oleh penyelundup, bahwa ia tidak
dapat dipidana karena ketika ia menarik kuda itu ia berada di Negeri Jerman.
Hoge Raad tidak dapat membenarkan pendapat itu dan mengatakan, bahwa dapat pula
terjadi dengan memakai alat-alat orang dapat berbuat sesuatu di tempat lain
dari pada di tempat ia berada. Dengan demikian maka penyelundup itu dengan
surat keputusan Hoge Raad 16 April 1915 diputuskan bersalah. Ini berarti bahwa
Hoge Raad menambah pendapatnya yang terdahulu dengan teori yang baru yang
dinamakan. b. Teori alat yang dipergunakan (leer
van het instrument) yang mengatakan, bahwa delik dilakukan di tempat di
mana alat yang dipergunakan itu menyelesaikannya, dengan perkataan lain yang
menjadi locus delicti ialah tempat di
mana ada "uitwerking" alat
yang dipergunakan. Teori akibat (leer van
het gevolg). Kadang-kadang juga teori alat yang dipergunakannya tidak dapat
memberi penyelesaian yang dikehendaki, karena tidak semua peristiwa pidana
dilakukan dengan mempergunakan alat. Maka dari itu oleh ilmu hukum pidana
dibuat lagi satu tambahan. c. Tambahan ini adalah teori akibat. Menurut teori
ini yang menjadi lotus delicti ialah tempat akibat dari perbuatan itu terjadi,
Teori akibat ini membawa keuntungan, misalnya dalam hal penipuan. Seorang asing
di luar negeri yang mempergunakan suatu nama palsu berhasil bahwa seorang
Indonesia yang berada di Indonesia melepaskan suatu benda tertentu. Perkara ini
hanya dapat diselesaikan dengan memakai teori akibat. Teori manakah diantara 3
macam teori itu yang paling cocok? Oleh banyak ahli hukum dikemukakan bahwa
ketiga teori ini sama pentingnya, yaitu yang paling cocok untuk menyelesaikan
suatu perkara yang tertentu (Penjelasan Pasal 252 HIR/RIB).
Orang
ahli ialah bukan saja yang berpendidikan akademis saja seperti insinyur
bangunan, mesin, elektronik dan lain sebagainya, akan tetapi pada umumnya semua
orang yang berpengalaman dan amat pandai dalam pekerjaannya seperti misalnya,
juru masak, tukang kayu, tukang jahit, montir dan lain sebagainya yang
berpengalaman, cakap dan mahir dalam pekerjaannya, karena tidak jarang terjadi
dalam praktek, bahwa suatu pencurian dapat dibongkar dengan pertolongan tukang
besi (mengenal kunci palsu), tukang jahit (mengenal baju yang dicuri dengan
melihat macam jahitannya dan sebagainya) (Penjelasan Pasal 70 HIR/RIB).
Pembagian beban
pembuktian adalah bahwa
yang harus dibuktikan itu hanyalah perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian
yang dipersengketakan oleh ke dua belah pihak yang berperkara, artinya yang
tidak mendapat persetujuan kedua pihak. Dengan kata-kata lain, bahwa
perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian yang telah diakui atau yang tidak
disangkal oleh pihak lawan, tidak usah dibuktikan lagi (Penjelasan Pasal 163
HIR/RIB).
Pemeriksaan
perkara secara singkat yaitu secara sumir. Terjemahan dari kata-kata
bahasa Belanda "summiere procedure"
artinya cara pemeriksaan perkara yang singkat dan ringkas (Penjelasan Pasal 334
HIR/RIB).
Pengaduan adalah
suatu pemberitahuan yang disertai dengan permintaan untuk menuntut peristiwa
itu. Adapun pemberitahuan adalah pemberitahuan belaka tanpa embel-embel suatu
permintaan untuk menuntut peristiwanya, oleh karena tanpa permintaan pun
peristiwanya senantiasa dapat dituntut (delik yang menurut jabatan harus
dituntut) (lihat penjelasan Pasal 45 HIR/RIB).
Pesakitan yaitu
terdakwa atau tertuduh. Kepada tertuduh ditanyakan tentang identitasnya,
seperti nama, umur, tempat kelahiran dan lain-lain (Penjelasan Pasal 255
HIR/RIB).
Polisi
justisi yaitu pekerjaan polisi represip, ialah melakukan segala usaha,
pekerjaan dan kegiatan untuk membantu tugas kehakiman guna memberantas
perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana yang telah dilakukan, dengan cara
menyidik, menangkap dan menahan yang berbuat salah, memeriksa, menggeledah dan
membuat Berita Acara pemeriksaan
pendahuluan dan mengadakan penuntutan pidana di muka pengadilan yang berwajib
serta menjalankan putusan hakim. Ini adalah suatu tugas yang biasanya dikerjakan
oleh para pegawai penyidik dan pegawai penuntut umum, jadi bukanlah suatu korps
atau kesatuan polisi yang diadakan seperti kesatuan polisi Negara dan
lain-lain.
Saksi a charge
yaitu saksi
yang memberatkan kesalahan tersangka. Lawannya adalah saksi de charge (Penjelasan
Pasal 82 HIR/RIB).
Saksi de auditu yaitu kesaksian yang
tidak dilihat sendiri, akan tetapi mengenai hal-hal yang dikatakan oleh orang
lain. Bukanlah merupakan kesaksian yang syah (Penjelasan Pasal 295 HIR/RIB).
Saksi de charge
ialah saksi
yang meringankan kesalahan tersangka. Lawannya adalah saksi
a charge (Penjelasan
Pasal 82 HIR/RIB).
Seorang saksi
bukanlah saksi didasarkan atas sifat tidak dapat dipercayanya manusia yang
sengaja atau tidak sengaja suka mengatakan hal-hal yang tidak benar. Kesaksian
dari seseorang yang sama sekali berdiri sendiri dan tidak dikuatkan dengan alat
bukti yang lain yang sah, bahwa seorang telah berbuat peristiwa pidana itu
tidak cukup untuk membuktikan kesalahan orang tersebut. Baru dapat dipandang
cukup, apabila satu kesaksian ini ditambah dengan salah satu dari alat bukti
yang lain, misalnya satu kesaksian lagi, pengakuan tersangka, surat-surat atau
penunjukkan (Penjelasan Pasal 70 HIR/RIB).
Sistem
pembuktian atas keyakinan belaka. Menurut sistem ini hakim tidak terikat
kepada alat-alat bukti yang tertentu, ia memutus tentang kesalahan terdakwa
belaka berdasarkan atas keyakinannya. Kalau sistem ke 3 hakim masih diikat
dengan: "menyebutkan alasan-alasan" keputusannya, maka menurut sistem
yang terakhir ini hakim bebas dari keharusan itu.
Sistem
pembuktian bebas.
Menurut sistem ini undang-undang tidak menetapkan peraturan tentang pembuktian
yang harus ditaati oleh hakim. Sudah barang tentu sistem ini juga menganggap
adanya alat-alat bukti tertentu, akan tetapi alat-alat bukti itu tidak
ditetapkan dalam undang-undang seperti sistem ke 1 dan ke 2 di atas. Dalam menentukan
macam dan banyaknya alat-alat bukti yang dipandang cukup untuk menetapkan
kesalahan terdakwa, hakim mempunyai keleluasaan yang penuh. Ia bebas untuk
menetapkan itu, satu-satunya peraturan yang mengikat kepadanya ialah bahwa
dalam keputusannya ia harus menyebutkan pula alasan-alasannya.
Sistem
pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Menurut sistem
ini hakim hanya dapat menjatuhkan pidana, apabila sedikit-dikitnya jumlah
alat-alat bukti yang telah ditetapkan dalam undang-undang ada, ditambah dengan
keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang
dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti cukup dan lengkap, jikalau hakim
tidak yakin atas kesalahan terdakwa, maka perkara diputus bebas. Hukum acara
pidana Indonesia menerapkan sistem pembuktian menurut undang-undang yang
negatif.
Sistem
pembuktian menurut undang-undang yang positif. Sistem ini
berkembangnya di abad pertengahan, sekarang sudah ditinggalkan. Menurut sistem
ini salah atau tidak salahnya terdakwa sepenuhnya bergantung pada ada atau
tidak adanya sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Keyakinan hakim tidak turut ambil bagian sama sekali.
Sumir yaitu
mengenai perkara-perkara yang sifatnya sederhana baik tentang pelaksanaan
hukumnya, maupun tentang pembuktiannya, dan pula tidak akan dijatuhkan (bukan
ancaman) pidana utama yang lebih berat dari satu tahun penjara (Penjelasan
Pasal 83f HIR/RIB). Lihat pemeriksaan
perkara secara singkat.
Teori atau
sistem pembuktian,
terdiri dari: sistem
pembuktian atas keyakinan belaka, sistem
pembuktian bebas,
sistem
pembuktian menurut undang-undang yang negatif, dan sistem pembuktian menurut undang-undang
yang positif
(Penjelasan Pasal 294 HIR/RIB).
Upaya hukum
adalah jalan-jalan menurut hukum yang dapat ditempuh untuk dapat dicapai suatu
keadilan seperti misalnya eksepsi terhadap kekuasaan hakim untuk mengadili,
perlawanan terhadap putusan verstek,
Banding, kasasi dan lain sebagainya. Ini semua adalah upaya hukum yang biasa
(Penjelasan Pasal 132 HIR/RIB). Lihat upaya hukum yang luar biasa.
Upaya hukum luar
biasa menurut Mr.
R. Tresna dalam bukunya yang berjudul ”Komentar HIR”, seperti
berikut: a. Perlawanan pihak ketiga (derden
verzet), diatur dalam Buku I. titel 10 dari Reglemen Hukum Acara Perdata
untuk Raad van Justitie dan Hooggerechtshof (Pasal 378 - 384).
Pokoknya, ialah bahwa orang ketiga dapat memajukan keberatan terhadap sesuatu
keputusan yang dapat merugikan haknya, jikalau baik ia sendiri ataupun yang ia
wakili, tidak pernah dipanggil di dalam perkaranya atau tidak ikut serta
sebagai pihak, baik dengan jalan "voeging"
maupun dengan jalan "tusschenkomst".
b. Rekes - sipil. Diatur dalam Buku I titel XI Reglemen Hukum Acara Perdata
tersebut di atas (Pasal 385 - 401). Pokoknya ialah bahwa atas permohonan orang
yang menjadi pokok atau pernah dipanggil, keputusan yang dijatuhkan dalam
persidangan atas perlawanan dan keputusan-keputusan tidak hadir yang sudah
tidak dapat dilawan (verzet) lagi, dapat ditarik kembali di dalam hal-hal yang
tertentu, seperti satu persatu dimuat dalam Pasal 385. c. "Voeging"dan "tusschenkomst": Ini adalah dua
macam percampuran tangan dari pihak ke tiga di dalam satu perkara, diatur dalam
Buku I, titel II, bagian ke 17 Reglemen Hukum Acara Perdata tersebut di atas
(Pasal 297 - 282). Pasal 297 bunyinya: "Setiap orang yang berkepentingan
di dalam suatu perkara perdata, yang terjadi di antara dua belah pihak yang
lain, dapat menuntut supaya ia diperbolehkan ikut serta atau mencampuri".
Bedanya "voeging" (ikut serta) dan "tusschenkomst" (mencampuri) ialah seperti berikut: "Voeging" (ikut serta) = menempatkan
diri di samping salah satu pihak bersama-sama dengan pihak lain menghadapi
pihak yang lain. "Tusschenkomst" (mencampuri = menempatkan diri) di
tengah-tengah antara ke dua belah pihak. d. "Vrijwaring" (ditarik masuk dalam perkara). Diatur dalam Buku
I, titel I bagian ke lima dari Reglemen Hukum Acara Perdata tersebut di atas
(Pasal 70 - 76). Vrijwaring ini
terjadi jikalau dalam suatu perkara di luar ke dua belah pihak yang ditarik
masuk dalam perkara sebagai pihak ke tiga (Penjelasan Pasal 132 HIR/RIB).
Daftar Singkatan Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Abjad:
1.
Kolonial
1 HERZIEN
INLANDSCH REGLEMENT (H.I.R) REGLEMEN INDONESIA YANG DIPERBAHARUI (R.I.B.)