Dalam sistem hukum perdata, apa yang dinamakan perkawinan adalah perkawinan perdata, dalam arti bahwa syarat-syarat untuk sahnya suatu perkawinan ditetapkan oleh hukum perdata dan hukum oleh agama yang bersangkutan. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, maka bagi orang-orang yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan ordonansi perkawinan orang Indonesia Kristen (Staatblad 1933 Nomor 74) tetaplah berlaku asas keperdataan dan monogami seperti yang terkandung dalam pasal 26 dan 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Didalam perkawinan perdata, juga cara-cara berakhirnya suatu perkawinan ditetapkan oleh oleh hukum perdata. Yang dinamakan perceraian lazimnya diperoleh dengan adanya suatu gugatan berdasarkan alasan-alasan yang sah yang ditetapkan oleh hukum perdata pula, melalui suatu proses dimuka pengadilan. Sistem hukum yang menyangkut masalah perkawinan kebanyakan melarang perceraian dengan persetujuan (dalam pasal 208, BW), larangan ini didasarkan pada gagasan bahwa perkawinan bukan suatu perikatan biasa, tetapi suatu perikatan suci yang dimaksudkan untuk selama-lamanya.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal empat alasan untuk perceraian, yaitu: perzinahan, ditinggalkan dengan itikad baik, penganiayaan berat dan penghukuman lebih dari 5 tahun (pasal 209, BW) jenis yurisprudensi telah menambahkan suatu alasan lagi, yaitu: “keretakan yang tidak dapat dipulihkan”. “Keretakan yang tidak dapat dipulihkan” merupakan suatu alasan yang diambil dari ordonansi perkawinan orang Indonesia Kristen (staatblad 1933 nomor 74), dalam pada itu sistem perkawinan kita telah menyebutkan alasan-alasan tersebut sebagai salah satu alasan yang sah untuk perceraian.
Mengenai harta perkawinan dapat dilihat dalam pola Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mencerminkan aliran pikiran liberal/individualistis dan pola hukum adat Indonesia yang mencerminkan alam fikiran yang memegang teguh asas kekeluargaan. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dalam mengatur harta kawin, juga mengambil pola hukum adat. Baik menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, calon suami/istri dibolehkan membuat perjanjian kawin untuk mengatur harta kekayaan mereka. Maksudnya mengadakan perjanjian kawin adalah agar dikemudian hari tidak ada perbuatan menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-Undang.